
Teks Diamond (2002) mengenai "rezim hibrida" atau "rezim gabungan" sangat sesuai untuk mendeskripsikan situasi politik Indonesia dalam dua periode kepemimpinan terakhir. Menurut tesisnya yang dikutip dari Carothers (2002), tidak seluruh negeri yang mengalami "gelombang ketiga" transisi demokratis pada tahun '90-an berhasil menegaskan dirinya sebagai sebuah "demokrasi lengkap". Beberapa hanya bergerak maju-mundur dan bahkan mulai menggunakan kombinasi sistem demokratik dengan otoritarianisme sekaligus. Terdapat pula beberapa kasus di mana perkembangan mereka kembali merosot.
Enam jenis sistem pemerintahan dikemukakan oleh Diamond menurut penulis ilmu politik lain dalam teks tersebut. Beberapa di antaranya adalah "demokrasi liberal, demokrasi elektoral, sistem bercampur, otoritarian bersaing, otoritarian elektoral dominan, serta otoritarian dengan kebijakan terbatas".
Dengan bersandar pada penilaian Freedom House Pada tahun 2001, Diamond menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori "Rezim Tidak Jelas" dengan peringkat indeks demokrasinya sebesar 3,4 pada sebuah skala yang berkisar dari angka 1 untuk sistem terbuka hingga 7 untuk sistem tertutup. Menurutnya saat itu, Indonesia berlokasi di area antara jenis pemerintahan "Kompetisi Otoriter" dan "Demokrasi Berbasis Pemilu".
"Kompetitif Otoriter" menggambarkan bahwa pemilihan umum berlangsung dalam persaingan tetapi terdapat minimnya pengawasan serta manipulasi dari para petahana. Sedangkan "Elektoral Demokrasi" menyiratkan bahwa wewenang rakyat untuk memilih lebih bersifat formalitas daripada memiliki arti yang sebenarnya.
- [Foto] Gambar Terpilih Minggu Ini, Aksi Demonstrasi Menentang UU Tentara Nasional Indonesia di Berbagai Wilayah
- Penggemar JKT48 Bergabung dalam Demonstrasi Melawan RUU Tentang TNI di Depan gedung DPR
- Rancangan Perubahan UU Tentara Nasional Indonesia Dipersepsikan Semakin Menguatkan Kebijakan Militarisme di Area Publik serta Dunia Maya
"Rezim Abu-abu" terletak di tengah kedua hal tersebut karena jejak-jejak otoriterisme masih bertahan dan pemilu belum memberikan kebebasan yang signifikan. Hak untuk berkata dan merdeka dari ancaman serta kesenjangan ekonomi belum benar-benar lenyap. Pertanyaannya adalah, adakah Indoneia saat ini masih termasuk dalam "Rezim Abu-abu" dan tidak mampu keluar darinya?
Berdasarkan analisis Diamond tersebut, meski telah menyebut beberapa ciri khasnya, situasi saat ini belum menunjukkan perbaikan signifikan. Otoritarianisme masih umum terjadi, sementara pemilihan umum hanya sebatas ritual formal. Adegan politik tetap dipenuhi oleh negosiasi antar elit penguasa tanpa ada oposisi nyata dalam lembaga legislatif. Berkali-kali suara publik diabaikan atau bahkan ditindis dan disensor. Kalau pola kekuasaan begini terus berlanjut, bisa-bisa proses transtion menuju demokrasi di Indonesia akan mundur daripada maju. Mungkin saja kita sedang keluar dari "Rezim Ambiguitas" untuk masuk pada model "Kekuasaan Persaingan Total".
Karena ciri khas dari sistem terdahulu masih melekat pada politik kita saat ini. Pemilihan umum hanya menjadi acara periodik sementara pemerintahan sudah memperkokoh posisinya menggunakan alat-alat negara. Sistem ini tetap mencoba meredam lawan melalui ancaman dan tekanan hingga mereka benar-benar tidak memiliki daya tahan lagi, termasuk potensi kekuatan publik yang mungkin timbul untuk menentangnya.
Secara singkat, menurut Diamond, pemilihan umum hanyalah topeng untuk mengelakkan "tekanan dari dalam negeri maupun luar negeri". Oleh karena itu, tidak heran apabila berbagai pihak mendeskripsikan "rezim campuran" ini sebagai " Pseudodemocracy ” atau “demokrasi palsu”.
Dari Kepolisian ke Tentara Nasional
Dalam dua periode kepemimpinan sebelumnya, kita sudah melihat bagaimana "Rezim Samar" ini bekerja dengan jelas. Ketika Prabowo memasukkan perwira aktif militer ke dalam kabinetnya, hal itu membawa kenangan akan era pemerintahan Jokowi yang dipenuhi oleh aparatur polisi. Dalam sebuah negara demokrasi liberal, TNI dan Polri merupakan badan defensif dan keamanan yang harus tetap netral; campur tangan mereka dalam urusan politik bisa menjadi ancaman serius.
Akan tetapi, kedua pihak malah mengekspos perangkat itu secara maksimal untuk mendukung kekuasaannya. Mereka menggunakan satuan-satuan tersebut guna mencapai tujuan politiknya. Sebenarnya, TNI dan Polri tidak boleh diposisikan di lembaga-lembaga sipil selama mereka belum pensiun atau mengundurkan diri dari jabatan aktif.
Partisipasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri dalam jabatan sipil dapat membahayakan karena kedua institusi tersebut masih memiliki alat 'pendam' dan 'kekakusan' yang berasal dari fungsi dasar mereka sebagai satuan penjaga pertahanan dan keamanan negeri. Keistimewaan seperti itu mungkin akan dipergunakan untuk menindih kritikan terhadap para petinggi militer yang nantinya menduduki posisi-posisi sipil.
Sewajarnya hukum menghalangi anggota TNI dan kepolisian aktif terlibat dalam urusan politik. Mereka tak punya hak suara di pemilihan umum sehingga dapat dikurungkannya penggunaan institusi ini demi tujuan-tujuan politik sempit atau partisan. Ini adalah prinsip utama dari sistem pemerintahan sipil demokratis: kedua organisasi itu perlu bersikap adil karena telah dilengkapi dengan senjata sesuai aturan negara. Tenaga tempurnya sangat berbahaya apabila disalahgunakan oleh kelompok tertentu hanya untuk maksud-maksud politik belaka.
Ingkar Janji Reformasi
Dua periode kepemimpinan lalu hingga kini serta era sebelumnya telah membawa kita lebih dekat pada bentuk negara 'kepolisan' dan 'kemiliteran', di mana mereka berusaha mengoptimalkan efisiensi hierarki dalam rangka pembangunan dan industrialisasi. Metode-metode penindasan pun sudah ditampilkan. Kedua pola tersebut melupakan niat perubahan itu sendiri. Mereka gagal mewujudkan visi pemerintahan yang didasari atas supremasi sipil. good governance Faktanya berada sangat jauh dari aman. Sebaliknya, secara bertahap namun pasti, Indonesia mulai merosot menuju otoritarianisme. Terkini, pembaruan 'Dwi Fungsi' sudah dilegalkan. Kekhawatiran mengenai pencerobohan era Orde Baru menjadi lebih nyata sekarang.
Perasaan itu sebetulnya telah terasa jauh sebelumnya. Ini dimulai ketika banyak tokoh kepolisian ikut serta dalam pemerintahan Jokowi. Selanjutnya adalah peran TNI dalam proyek nasional besar yang tidak berhasil, " food estate "Ditindaklanjuti dengan kegiatan retret militer untuk para pejabat baru dan kepala wilayah. Yang terakhir adalah penugasan personel TNI aktif dalam posisi sipil belakangan ini. Seluruhnya menjadi indikator kuat atas kemungkinan adanya proses remilitarisasi di lingkungan pemerintah. Anggapan bahwa Tentara beserta Polri mencerminkan nasionalisme serta patriotisme kian menguat. Mereka dipersepsikan memiliki kapabilitas superior dalam merampungkan berbagai masalah sipil lewat jaringan hierarki mereka dan sikap tegas ' yes, man ” mereka terhadap pimpinan.
Supremasi Sipil versus Militer
Namun, terdapat dua hal penting lainnya yang tidak dibahas tentang kekuasaan militer di atas sipil itu. Pertama Pelibatan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara langsung dalam lembaga-lembaga sipil dapat perlahan-lahan mengarahkan pemerintah menuju format militeristik seperti junta. Ini karena ada kemungkinan adanya dorongan terhadap kuasa yang semakin meningkat merembes pada banyaknya individu dari TNI ini. Kemudian, potensi pengendalian atas semua aspek pemerintahan di masa mendatang pun cukup signifikan. Selain itu, posisi TNI aktif di tempat-tempat sipil tersebut memiliki risiko memicu konflik internal. Hal ini membuat mereka bersaing demi kedekatan dengan pusaran kekuasaan, sehingga menyebabkan prajurit-prajurit TNI berkembang menjadi tipe orang yang hanya fokus pada kesempatan dan realitas praktikal saja.
Lebih parah lagi, menyuarakan kritikan terhadap badan sipil yang dikendalikan oleh tentara tak dapat ditertibkan tanpa respons penindasan menggunakan peralatan militer yang tetap melekat pada sosok pilihan rakyat. Hal itu sangat mengkhawatirkan lantaran biasanya kita percayai bahwa organisasi militer susah dibebaskan dari kontrol publik secara maksimal. Dampaknya, buruknya efektivitas instansi serta korupsi bakal senantiasa bertahan. Selain itu hal tersebut pun rawan karena lembaga sipil yang direbut kendali oleh pasukan bersenjata aktif bisa jadi sumber perselisihan keuntungan dengan potensial menciptakan elit-elit ekonomi baru dari kalangan anggota militer. Korupsi dalam jumlah besar juga akan setidaknya sama seriusnya terjadi di bawah kepemimpinan para militernya sendiri.
Kedua Mempertanyakan kemampuan sipil dan militer di birokrasi dapat menghancurkan koherensi sosial yang telah lama menjadi fondasi kuatnya persatuan Indonesia sebagai negara multietnis. Penyisihan hak-hak warga sipil serta penekanan pada privilese militer pastinya akan menimbulkan protes publik yang semakin intensif. Hal tersebut bisa membawa dampak ketidakstabilan politik jangka panjang yang memiliki potensi kerugian signifikan untuk ekonomi negeri kita. Demonstrasi rakyat dengan jumlah peserta yang meningkat drastis setiap harinya bakal menjadi tantangan besar bagi legitimasi pemerintahan sekarang. Terlebih lagi, masalah-masalah fundamental seperti pemutusan hubungan kerja skala luas dan permasalahan finansial lainnya masih segar dalam benak masyarakat umum.
Oleh karena itu, menarik kembali tentara aktif ke barak mereka serta mencabut UU TNI dengan PerppU adalah tindakan tepat untuk mengembalikan pemerintahan pada jalur reformasi. Saat ini, pemerintah perlu menyadari bahwa 'orde baru' tak lebih dari contoh proyek politik yang justru membawa Indonesia terperosok dalam jeratan korupsi—sebaliknya, hal tersebut hanya merepresentasikan periode kelam negara kita di masa lampau.